Pada acara Global Mobile Game Congress di Beijing
awal pekan lalu, saya diundang untuk menjadi moderator di sebuah diskusi
tentang topik yang harus saya akui tidak begitu saya kuasai. Untungnya, saya
memoderasikan sebuah diskusi yang berisi narasumber yang berpengalaman yang
memberi saya gambaran singkat terkait industri game mobile di Asia Tenggara.
Para narasumber tersebut adalah kepala global kemitraan game Google, Sergio
Salvador; kepala Inzen Studio, Gerald Tock; founder dan CEO Sanuk Games, Yan
Marchal; CEO Appota, Do Tuan Anh; serta founder dan CEO Mig33, Steven Goh.
- Indonesia akan menjadi pasar besar selanjutnya di industri game mobileKetika saya bertanya kepada para panelis tentang negara Asia Tenggara mana yang mereka pikir akan menjadi pasar besar berikutnya di industri game mobile dalam lima tahun ke depan, jawabannya sama: Indonesia. Semua prasyarat ada di negara ini, penetrasi mobile dan internet yang meningkat pesat, jumlah populasi yang besar, dan infrastruktur di Indonesia sudah semakin bisa mendukung ekosistem startup dan teknologi. Terlebih lagi, Indonesia juga memiliki beberapa produsen smartphone Android murah yang sukses untuk melawan pesaing asing besar seperti Samsung dan Apple.
- Flappy Bird adalah sebuah kebetulan, tapi sebuah kebetulan yang bermaknaSelama diskusi, kami melakukan voting dengan bertanya kepada lima panelis tentang siapa dari mereka yang berpikir bahwa Flappy Bird adalah suatu kebetulan. Empat dari lima mengatakan ya, tetapi mereka semua juga menambahkan penjelasan. Flappy Bird menunjukkan bahwa industri game mobile masih memiliki faktor ‘X’ yang tak terduga. Unsur acak ini mempunyai arti bahwa Flappy Bird bukanlah hit viral terakhir, dan setiap perusahaan game memiliki banyak kesempatan untuk mengalami hal yang sama.
- Bahasa Inggris di dalam game bukan sebuah masalahSetiap aplikasi memang sebaiknya dilokalisasi, tetapi menciptakan sebuah versi terpisah untuk setiap bahasa di Asia Tenggara mungkin akan membuang-buang waktu. Game mobile umumnya cukup intuitif dan hanya memerlukan penggunaan bahasa Inggris dasar, jika ada, untuk mencari tahu bagaimana cara memainkan sebuah game. Sementara jenis aplikasi lain, seperti yang berfokus pada e-commerce, wisata, dan produktivitas, lebih mungkin memerlukan lokalisasi bahasa, kebanyakan game mobile bisa dimengerti tanpa lokalisasi bahasa.
- Pembayaran masih menjadi tantanganPilihan pembayaran untuk aplikasi mobile bervariasi dari satu negara ke negara lainnya di Asia Tenggara, tapi selain Singapura, adopsi kartu kredit di seluruh wilayah ini cukup rendah. Perusahaan seperti MOL dan 2C2P mencoba menyelesaikan masalah dengan pembayaran tunai dan debit di counter-counter fisik pembayaran, tetapi cara ini memunculkan banyak kerumitan untuk pelaku industri kecil. Sebelum Google menerapkan penagihan pulsa, para pemain kecil akan menghadapi kendala terkait pembayaran.
- Asia Tenggara sangat beragamAsia Tenggara sering dianggap seolah-olah satu negara dengan bahasa dan budaya yang sama. Bahkan sebenarnya, kawasan ini tidak monolitik seperti Uni Eropa. Singapura adalah outlier terbesar, karena hampir sepenuhnya kebarat-baratan, relatif kaya, dan hampir semua orang tinggal di daerah perkotaan. Filipina juga memiliki pengaruh Barat yang kuat, sedangkan Indonesia dan Malaysia adalah dua negara Muslim terbesar di dunia. Selain itu, Asia Tenggara tidak memiliki perusahaan teknologi lokal yang besar seperti Tencent dan Alibaba di China, atau Facebook dan Google di Barat – yang dapat bertindak sebagai pilar di seluruh wilayah tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar